Jumat, 20 Agustus 2010

sejarah dan mitos

Sejarah dan Mitos
Kisah penciptaan alam semesta pada Orang Dayak Kanayatn di kampung Nangka dapat ditelusuri dari doa nyangahatn . Dalam kisah tersebut, disebutkan bahwa dipusat alam semesta ini terdapat sebuah pusaran air (pusat ai’ pauh janggi). Inilah yang disebut-sebut pohon kehidupan, yang daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semuanya akan kembali.
Pada perkawinan kosmis di pusat ai’ pauh janggi kemudian tercipta kulikng langit dua putar tanah (kubah langit dan kubah bumi), yaitu Sino Nyandong dan Sino Nyoba yang memperanakan Si Nyati Anak Balo Bulatn Tapancar Anak Mataari (Nyati Putri Bulan dan Putra Matahari). Yang memperanakan Iro-iro man angin-angin (Kacau Balau dan Badai), memperanakan uang-uang man gantong tali (udara mengawang dan embun menggantung), memperanakan tukang nange man malaekat (Pandai Besi dan Bidadari), memperanakan sumarakng ai’ man sumarakng sunge (segala air dan segala sungai) memperanakan tunggur batukng man mara puhutn (bambu dan pepohonan) memperanakan antuyut man marujut (akar-akaran dan umbi-umbian) memperanakan popo’ man rusuk (kesejukan lumpur dan tulang iga). Kesejukan lumpur adalah perempuan dan tulang iga adalah laki-laki. Memperanakan Anteber dan Guleber. Anteber dan Guleber inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang mereka.
Setelah menjadi manusia, selanjutnya, anteber dan guleber melahirkan anak-anaknya dan kemudian dalam waktu cukup lama melahirkan anak-cucu, sehingga dengan demikian, semakin banyaklah anak manusia dibumi.
Dalam sebuah cerita lisan disebutkan Ne’ Panitah, seorang maharaja dari negeri subayatn yang tinggal dan memerintah di Kerajaan Sapangko Kanayatn. Ia memerintah bersama para menterinya. Setelah menciptakan alam semesta beserta isinya, Ne’ Panitah memerintahkan para menterinya untuk memikirkan bagaimana agar seisi alam itu dikelola oleh manusia. Pada suatu hari, Ne’ Panitah hadir dalam mimpi seorang anak manusia bernama Ne’ Ramaga bersama istrinya Ne’ Dara Irakng. Dalam mimpinya, Ne’ Panitah mewahyukan kepada Ne’ Ramaga untuk menerima suatu aturan hidup yang dinamakannya “adat lima“ .
Nek Ramaga adalah salah seorang pemimpin komunitas yang hidup disebuah kampung bernama Pakana Bahana, hulu Sungai Mempawah. Ia hidup sebagai peramu hutan dan diangkat sebagai pemimpin oleh warga kampung itu. Dalam mimpinya itu, Nek Ramaga diperintahkan untuk mengundang tiga orang saudaranya yang juga menjadi pemimpin negeri untuk menjelaskan wahyu Nek Panitah. Menerima wahyu itu, keesokan harinya Nek Ramaga mengirimkan sepucuk surat undangan melalui salah seorang warganya kepada ketiga pemimpin dimaksud.
Tersebutlah Nek Matas, pemimpin warga disepanjang aliran sungai karimawatn (Sungai Mempawah). Saudaranya yang lain adalah Nek Taguh alias Pak Usutn, yang menjadi pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Sambas dan Nek Ria Sinir, pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Banyuke. Mendengar bahwa ada undangan Nek Ramaga, ketiga orang ini bergegas menuju Kampung Pakana Bahana. Berminggu-minggu ketiga orang ini menyusuri sungai dan lembah untuk mencapai kampung Pakana dan beberapa lama kemudian ketiganya sampai dengan selamat. Menyambut tamunya, Nek Ramaga telah mempersiapkan buis bantatn.
Dalam pertemuan itu, Nek Ramaga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ia berjumpa dengan Nek Panitah melalui sebuah mimpi. Nek Panitah memberikan sesuatu wahyu yang harus diikuti seluruh anak manusia dibumi. Setelah mendengar penjelasan Nek Ramaga, ketiga saudara ini menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah dari Nek Panitah. Adat istiadat inilah yang kemudian dijalankan oleh ketiga orang saudara itu, hingga keanak cucunya dikemudian hari. Kelima adat itu adalah (1) Penekng unyit mata baras (irisan buah kunyi dan beberapa butir beras). Menurut Nek Ramaga, asal adat ini adalah dari Nek Unte’ di Kalimantatn, Nek Bancina di Tanyukng Bunga, Nek Sali di Sabakal, Nek Onton di Babao, dan Nek Sarukng di Sampuro. Fungsi adat ini adalah sebagai pelindung, menjaga kesabaran dan untuk keselamatan manusia. (2) Baras banyu banyang (bulir beras yang diberi minyak). Adat kedua ini berasal dari Nek Pangingu dan Nek Pangorok, berfungsi untuk meminta rejeki dan berkat. (3) Baras ijo (bulir beras berwarna hijau). Adat ketiga ini berasal dari Bujakng Nyangko dari Samabue, Kamang Muda’ dari Santulangan, dan Ngatapm Barangan dari Jajawe. Fungsi adat ini adalah melindungi manusia dari serangan maut yang datangnya dari luar. (4) Baras sasah (bulir beras yang diberi air sungai). Adat keempat ini berasal dari Gura’ Giro, Dewa Langit. Beta’ Beto, Dewa Tanah, dan Raja Naga Dewa Air. Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan hal-hal yang jahat dan kotor dan (5) Langir binyak (kulit buah langir yang diberi minyak). Adat keliman ini berasal dari Bunga Putih Oncok Bawakng, Nek Lopo penguasa Bukit Bawakng, Sudu’ Nu’ Namput Ngalamputn Sengat, Pato’ Nu’ Alang Ngalalu’ Balah, Dayakng Nu’ Dandeng Bagago’ Jiba Sumangat, Bayu Rinsamang Harta Muda Dunia. Fungsi adat ini adalah untuk mengobati manusia yang sakit dan mengusir penyakit.
Sebelum pulang, ketiga orang ini kemudian mengadakan adat “totokng kanayatn “ untuk menerima lima adat yang diceritakan oleh Nek Ramaga. Untuk pelaksanaan adat ini, harus dengan 3 ekor ayam (buis bantatn). Karena ketiga orang ini berasal dari tempat yang berlainan, maka diadakan musyawarah yang dipimpin oleh Nek Ramaga. Ini dilaksanakan agar dikemudian hari tidak terdapat perselisihan atas pelaksanaannya. Hasilnya musyawarah itu adalah totokng kanayatn berupa buis bantatn yang diterima Nek Matas, tiga ayamnya dua telungkup dan satu telentang. Untuk Nek Taguh alias Pak Usutn, buisnya tiga ekor ayam telungkup semuanya dan untuk Nek Ria Sinir tiga ekor ayamnya telentang semua. Nek Matas kemudian pulang ke kampungnya yang bernama Titi Antu, tepi sungai karimawatn (Sungai Mempawah). Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Dale Nibukng dan tiga orang anaknya yang bernama Nek Icap di Toho, Nek Rawa di Siakng Maradatn (Sepang) dan Nek Raga. Keturunan Nek Raga ini adalah Nek Gawe dan Nek Ludatn, leluhur orang Kaca’ dan Ohak. Ria sinir kemudian pulang kekampungnya bernama Kampung Jarikng, Kecamatan Menyuke sekarang ini. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Dara Itapm. Sedangkan Nek Taguh alias Pak Usutn, kembali ke kampungnya yang terletak di kaki Bukit Kape’, daerah Kecamatan Samalantan sekarang ini.

0 komentar: